Baca bagian keempat
Zone Dewasa
Setelah mbak Sari melepaskan potongan pakaian terakhirnya, dengan perlahan dia mendekatiku.
”Udah donk, mbak, gantian. Kan aku juga kepengen.” ujar mbak Sari sambil ikut menggenggam kontolku.
Melihat anak kostnya yang juga ingin ikut merasakan gagahnya kontolku, dengan terpaksa bu Selvi mundur sambil membuka seluruh bajunya. Mbak Sari mulai mengocok-ngocok kontolku dengan penuh nafsu. Aku hanya bisa merem melek menikmati sensasi ini. Kulihat Nadya sudah telanjang sambil mendekatkan payudara montoknya ke mukaku. Tanpa menunggu perintah, aku langsung mengulumnya yang mengakibatkan Nadya memelukku untuk menahan rasa nikmat yang melandanya.
Sedang sibuk menyusu pada Nadya, aku dikagetkan dengan rasa nikmat di kontolku yang bertambah saat kulihat ternyata bu Selvi sudah ikut bergabung dengan mbak Sari untuk mengulum kontolku. Mereka bergantian mengulum kontolku, kadang juga secara bersamaan. Setelah beberapa lama, kulihat mbak Sari mulai mengangkangi kontolku. Saat akan menurunkan bokong semoknya dan tinggal beberapa senti dari ujung kontolku, tiba-tiba gerakannya itu dihalangi oleh bu Selvi.
”Sari, enak aja. Kan aku dulu yang lihat si Rian lagi nggarap si Nadya, jadi aku dulu donk yang dapat kontolnya Rian pertama.” ujar bu Selvi.
”Gak bisa, mbak. Kan aku yang mendorong mbak Selvi sehingga bisa ngentot sama Rian.” seru mbak Sari tak mau kalah.
Melihat mereka berdua yang masih bertengkar berebut siapa yang ngentot duluan membuatku malah tersiksa menahan konak. Kulihat Nadya yang sedang bengong melihat dua perempuan bertengkar memperebutkan kontol, kupegang tangannya sambil berbisik.
”Nad, kamu duluan yah? Kan aku tadinya maunya sama kamu, cuma diganggu sama mereka.”
Nadya hanya mengangguk sambil merebahkan tubuhnya di kasur dan aku langsung sambil mengarahkan kontolku ke memek perawannya. Setelah kugesek cukup lama, akhirnya kubenamkan batang kebanggaanku ke dalam memeknya.
”AAAAAAHHHHKKKK…!!!” teriak Nadya saat aku melesakan kontolku ke memeknya dan kejadian itu membuat 2 perempuan yang tadinya bertengkar langsung melihat ke arah kasur.
Mereka seperti tidak percaya kalau yang dapat kesempatan pertama ngentot adalah Nadya. Mereka hanya bisa pasrah saat aku mulai menggenjot memek Nadya. Tak sampai 5 menit, si Nadya sudah orgasme. Melihat hal itu, bu Selvi langsung mendorongku kesamping sehingga aku terlentang dengan kontolku tegak mengacung ke atas. Dengan tak sabar bu Selvi mulai menaiki kontolku sambil meremas-remas payudara montoknya.
”Uaakkkhh… Eeehhhhm… Terus… Goyang yang cepet…” teriaknya sambil mulai mempercepat goyangannnya.
Aku tak lama melihat pemandangan itu saat secara tiba-tiba pandanganku menjadi gelap. Ternyata mbak Sari menempatkan memek pinknya di hadapan mukaku. Melihat hal itu, tanpa menunggu aba-aba, lidahku sudah beraksi menggali ke dalam memek mbak Sari.
”Oooookkkhh… Kanan dikit, Rian! Yeah… Terus disitu… Yeah…” desah mbak Sari saat aku menyerang memeknya tanpa ampun.
”AAAAAKKKKHHH…. RIAN, AKU NYAMPE… AAAAAKKKH…” teriak bu Selvi saat kurasakan cairan hangat menyiram kontolku yang berada di dalam memeknya.
Melihat bu Selvi sudah tumbang, mbak Sari sudah bersiap-siap dengan berpegangan di pinggir ranjang sambil menunggingkan pantatnya. Melihat hal itu, aku langsung menghampirinya dan mulai menggosok-gosokan kontolku di memeknya.
”Sssshhhh… Udah, Rian… Cepetan… Udah konak nih…” ujarnya terbata-bata menahan nafsunya yang sudah diubun-ubun.
Menuruti permintaan mbak Sari, aku langsung menghujamkan kontolku ke dalam memeknya yang sudah basah. 15 menit sudah aku menggenjot mbak Sari saat kurasakan memek mbak Sari mulai memeras kontolku dengan hebat dan tak lama kemudian…
”AAAAAKKKHHH…” mbak Sari mencapai orgasmenya, kakinya yang tadi menopang tubuhnya mulai lemas hingga akhirnya dia terduduk dengan nafas ngos-ngosan. Aku yang masih belum orgasme mulai mendekati Nadya yang masih terlentang kelelahan.
”Sayang, aku belum keluar nih, minta lagi donk.” pintaku memelas.
Nadya hanya mengangguk lemah sambil membuka pahanya lebar-lebar. Aku yang sudah tak kuat menahan nafsuku langsung menindihnya dan menggenjotnya dengan ganas. Tak sampai 10 menit, aku merasakan aku akan keluar.
”Nad, aku mau keluar.” Kataku. Saat aku akan mengeluarkan kontolku dari memek Nadya, tiba-tiba kaki Nadya menahan bokongku sehingga aku keluar di dalam memeknya.
”Nad, kok kamu tahan sih, ntar kalo kamu hamil gimana?” protesku pada Nadya. Tapi dia hanya tersenyum sambil berbisik padaku.
”Kalo hamil ya biar kamu nikahin aku, sebab aku sudah jatuh cinta sama kamu, mas.” bisiknya dekat telingaku.
Apa! Cinta? Si Nadya jatuh cinta kepadaku?! Tapi aku masih belum bisa memberi jawaban karena aku masih bingung dengan perasaanku sendiri. Nadya hanya berkata tak apa-apa karena dia hanya menganggap perempuan-perempuan dewasa yang membutuhkan kontolku hanya butuh pelampiasan sex tanpa ada rasa cinta. Sudah hampir 1 minggu sejak kejadian di kost Nadya dan selama itu pulalah aku digilir 3 perempuan secara bergantian. Suatu saat, pas aku sedang menunggu Nadya pulang sekolah, dari kejauhan aku melihat sesosok orang tua yang aku kenal baik. Dia adalah mang Kosim. Ternyata dia sudah pulang dari kampungnya. Saat kuteriaki, dia langsung mendekatiku. Tapi kurang dari 3 meter, saat kami sudah akan berpelukan, dari sebelah kanan, aku mendengar suara ban mengerem mendadak.
”CIIIIIIIITTTT… BRUAKKK!!!” Aku yang terkejut tiba-tiba hilang kesadaran. Saat kesadaranku mulai kembali, aku melihat mang Kosim terbaring di jalan terhimpit becaknya yang hancur berantakan. Kucoba menggerakan kakiku, tapi terasa perih. Saat kulihat, ternyata kakiku patah. Aku yang tak dapat menahan perihnya langsung kembali hilang kesadaran.
”UUUHHH… ADUH…” aku mengeluh.
Saat sadar, aku sudah berada di rumah sakit. Pelan-pelan kuingat lagi kejadian yang menimpaku dan mang Kosim. Kami berdua menjadi korban kecelakaan. Kurasakan kaki kananku terasa nyut-nyutan. Saat aku ingin memeriksa kakiku dengan tangan kananku.
”Lho, kok tanganku jadi berat, anget, trus ada empuk-empuknya lagi?” pikirku.
Saat kulihat, ternyata Nadya tengah memeluk erat tangan kananku. Terlihat juga matanya sedikit sembab. Mungkin dia menungguiku sambil menangis. Ah, kenapa aku jadi sedih memikirkannya padahal selama ini setiap aku sakit aku selalu mengurus diriku sendiri sejak aku ditinggal orang tuaku selama-lamanya karena kecelakaan saat aku baru lulus SMA. Saat aku lihat Nadya, kurasakan perhatian yang telah lama tak kurasakan lagi. Perlahan-lahan kulihat Nadya mulai bangun. Saat dia membuka mata, dia tampak terkejut melihatku sudah sadar.
”Mas.. Mas sudah sadar? Syukurlah, aku sangat khawatir.” katanya sambil langsung memelukku dengan erat.
Kurasakan pundakku hangat oleh air matanya. Kupeluk dia dengan hati-hati karena seluruh badanku masih sakit.
”Rian, lo udah sadar yah?” teriak seorang wanita seksi dari arah pintu sambil berlari kecil menghampiriku.
Dia meletakkan keranjang buah di meja kecil yang berada di samping tempat tidur. Dipeluknya diriku dengan erat sampai aku kesulitan benafas.
”Mbak… A-aku gak bisa nafas.” kataku.
”Ups, sorry, Rian. Habis aku seneng banget lihat kamu udah sadar.” kata wanita itu sambil melepaskan pelukannya dariku.
Ya, wanita itu adalah mbak Sari.
”Mbak, gimana mang Kosim, mbak?” tanyaku pada mbak Sari.
Semua yang ada di ruangan itu diam seribu bahasa. Aku jadi khawatir dengan sahabat baikku itu. Karena tak ada yang mau membuka mulut, maka dengan kesal aku langsung membuka selimutku dan hendak turun dari tempat tidur.
”Mas, mas mau kemana? Jangan keluar dulu, kan baru sadar.” ujar Nadya sambil menghalangiku bangun.
”Lepasin, Nad. Gue pengen ketemu mang Kosim.” jawabku dengan nada agak tinggi sambil tetap mencoba berdiri.
”Ayo ikut gue. Gue bawa lo ke kamar mang Kosim.” kata mbak Sari dingin. Aku dan Nadya hanya mengikuti langkahnya meninggalkan kamar tempat aku dirawat.
”Sebenarnya gue sama Nadya gak tega ngebiarin lo lihat pak Kosim, Rian.” kata mbak Sari padaku yang masih mengikuti goyangan pantatnya yang bahenol.
”Memang kenapa, mbak?” tanyaku penasaran.
”Lo masih mending, Rian, cuma patah kaki sama memar-memar doank. Kalo mang Kosim, dia kritis, sudah hampir 3 hari, Rian. Kemarin dia baru sadar.”
Aku terkejut mendengar penjelasan mbak Sari. Saat kami mendekat ke ruangan ICU tempat mang Kosim dirawat, disana aku melihat bu Selvi dan juga seorang perempuan seumuran Nadya, orangnya cantik, kuning langsat, dadanya berukuran sedang, dan kalo dilihat-lihat mirip dengan Alyssia Soebandono, artis remaja terkenal itu. Saat aku dan yang lain masuk, kulihat mang Kosim sedang berbaring lemah. Tapi begitu melihatku, ia memberi isyarat padaku agar mendekat.
”Rian, gue punya satu permintaan sama lo sebagai sahabat.” ujarnya lirih.
”Apa itu, mang? Asalkan gue sanggup melakukannya, gue bakal penuhin permintaan mang Kosim.” jawabku sambil menahan air mataku yang mulai menggenangi karena tak tahan melihat sahabat baikku terbaring lemah tak berdaya.
”Gue cuma mau lo jagain anak perempuan gue kalo terjadi apa-apa ama gue, Rian.” pintanya lirih sambil menunjuk pada anak perempuan yang berada di samping bu Selvi yang kemudian kuketahui namanya Titin.
”Pasti, mang, gue pasti bakal jagain anak lo. Dia bakal gue anggep adik gue sendiri.” jawabku sambil mencucurkan air mata.
Kulihat si Titin sudah menangis mendengar permintaan bapaknya itu.
”Ya udah, lo semua keluar dulu, gue mau ngomong berdua sama Titin.” kata mang Kosim sambil memberi isyarat agar Titin mendekat.
”Ayo kita keluar dulu, mungkin ada hal penting yang mang Kosim mau katakan pada anaknya.” kata bu Selvi sambil menggiring kami pergi dari ruangan itu.
”Mbak, gimana biaya rumah sakit gue sama mang Kosim?” tanyaku sambil menyusuri lorong rumah sakit menuju kamarku.
”Udah, tenang aja, semua biaya lo udah gue sama mbak Selvi bayar.” kata mbak Sari nenangin aku.
”Trus motor gue gimana? Yang nabrak siapa sih?” tanyaku nyerocos kayak kereta api.
”Motor lo udah rusak parah. Lo ditabrak sama supir truck yang lagi teler gara-gara narkoba.” kata bu Selvi sambil memapahku.
”Oh iya, mas, tadi ada ibu-ibu yang pesen kalo mas udah sadar disuruh ganti biaya barang bawaan yang rusak, trus dia juga bilang kalo mas gak usah kerja lagi.” kata Nadya.
”Aduh, mati gue! Pasti itu tadi mbak Ida. Mau bayar gimana, lha gue aja masih kayak gini, mana gak boleh kerja lagi. Trus gue mau tidur dimana?” kataku sambil memegangi kepalaku. Perlu diketahui, sebelumnya gue tidur numpang di kantor tempatku kerja.
”Kalo lo mau, lo boleh tidur di kamar kost yang kosong.” kata bu Selvi menawariku.
”Tapi, bu, aku sudah banyak berhutang sama bu Selvi dan mbak Sari. Aku gak tahu gimana membalas kebaikan kalian?” kataku penuh haru.
”Dan lo bisa masuk ke kantor gue, Rian. Kebetulan OB lama gue mengundurkan diri.” kata Mbak Sari.
”Makasih yah, mbak, bu.” kataku sambil menahan air mataku.
”Eits, tapi ada syaratnya, Rian.” kata Mbak Sari sambil melirik ke bu Selvi.
”Syaratnya, lo harus muasin kita kalo lagi pengen ngentot.” kata bu Selvi sambil mencolek kontolku. Mendengar hal itu, aku jadi lega.
No comments:
Post a Comment