Welcome to My Blog

Tukang Kredit Nakal - Bagian Kelima ( Zone Cewek )

Saturday, 12 March 2016

Cerita Dewasa




Baca bagian keempat

Zone Dewasa


Setelah mbak Sari melepaskan potongan pakaian  terakhirnya, dengan perlahan dia mendekatiku.

”Udah donk, mbak, gantian. Kan aku juga kepengen.” ujar mbak Sari sambil ikut  menggenggam kontolku.

 Melihat anak kostnya yang juga ingin ikut merasakan gagahnya kontolku, dengan  terpaksa bu Selvi mundur sambil membuka seluruh bajunya.  Mbak Sari mulai mengocok-ngocok kontolku dengan penuh nafsu. Aku hanya bisa  merem melek menikmati sensasi ini. Kulihat Nadya sudah telanjang sambil  mendekatkan payudara montoknya ke mukaku. Tanpa menunggu perintah, aku langsung  mengulumnya yang mengakibatkan Nadya memelukku untuk menahan rasa nikmat yang  melandanya.

Sedang sibuk menyusu pada Nadya, aku dikagetkan dengan rasa nikmat  di kontolku yang bertambah saat kulihat ternyata bu Selvi sudah ikut bergabung  dengan mbak Sari untuk mengulum kontolku. Mereka bergantian mengulum kontolku,  kadang juga secara bersamaan.  Setelah beberapa lama, kulihat mbak Sari mulai mengangkangi kontolku. Saat akan  menurunkan bokong semoknya dan tinggal beberapa senti dari ujung kontolku,  tiba-tiba gerakannya itu dihalangi oleh bu Selvi.

”Sari, enak aja. Kan aku dulu yang lihat si Rian lagi nggarap si Nadya, jadi aku  dulu donk yang dapat kontolnya Rian pertama.” ujar bu Selvi.

”Gak bisa, mbak. Kan aku yang mendorong mbak Selvi sehingga bisa ngentot sama  Rian.” seru mbak Sari tak mau kalah.

Melihat mereka berdua yang masih bertengkar berebut siapa yang ngentot duluan  membuatku malah tersiksa menahan konak. Kulihat Nadya yang sedang bengong  melihat dua perempuan bertengkar memperebutkan kontol, kupegang tangannya sambil  berbisik.

”Nad, kamu duluan yah? Kan aku tadinya maunya sama kamu, cuma diganggu  sama mereka.”

 Nadya hanya mengangguk sambil merebahkan tubuhnya di kasur dan aku langsung  sambil mengarahkan kontolku ke memek perawannya. Setelah kugesek cukup lama,  akhirnya kubenamkan batang kebanggaanku ke dalam memeknya.

”AAAAAAHHHHKKKK…!!!” teriak Nadya saat aku melesakan kontolku ke memeknya dan  kejadian itu membuat 2 perempuan yang tadinya bertengkar langsung melihat ke  arah kasur.

Mereka seperti tidak percaya kalau yang dapat kesempatan pertama ngentot adalah  Nadya. Mereka hanya bisa pasrah saat aku mulai menggenjot memek Nadya. Tak  sampai 5 menit, si Nadya sudah orgasme.  Melihat hal itu, bu Selvi langsung mendorongku kesamping sehingga aku terlentang  dengan kontolku tegak mengacung ke atas. Dengan tak sabar bu Selvi mulai menaiki  kontolku sambil meremas-remas payudara montoknya.

”Uaakkkhh… Eeehhhhm… Terus… Goyang yang cepet…” teriaknya sambil mulai  mempercepat goyangannnya.

Aku tak lama melihat pemandangan itu saat secara tiba-tiba pandanganku menjadi  gelap. Ternyata mbak Sari menempatkan memek pinknya di hadapan mukaku. Melihat  hal itu, tanpa menunggu aba-aba, lidahku sudah beraksi menggali ke dalam memek  mbak Sari.

”Oooookkkhh… Kanan dikit, Rian! Yeah… Terus disitu… Yeah…” desah mbak Sari saat  aku menyerang memeknya tanpa ampun.

 ”AAAAAKKKKHHH…. RIAN, AKU NYAMPE… AAAAAKKKH…” teriak bu Selvi saat kurasakan  cairan hangat menyiram kontolku yang berada di dalam memeknya.

 Melihat bu Selvi sudah tumbang, mbak Sari sudah bersiap-siap dengan berpegangan  di pinggir ranjang sambil menunggingkan pantatnya. Melihat hal itu, aku langsung  menghampirinya dan mulai menggosok-gosokan kontolku di memeknya.

”Sssshhhh… Udah, Rian… Cepetan… Udah konak nih…” ujarnya terbata-bata menahan  nafsunya yang sudah diubun-ubun.




Menuruti permintaan mbak Sari, aku langsung menghujamkan kontolku ke dalam  memeknya yang sudah basah.  15 menit sudah aku menggenjot mbak Sari saat kurasakan memek mbak Sari mulai  memeras kontolku dengan hebat dan tak lama kemudian…

”AAAAAKKKHHH…” mbak Sari mencapai orgasmenya, kakinya yang tadi menopang  tubuhnya mulai lemas hingga akhirnya dia terduduk dengan nafas ngos-ngosan.  Aku yang masih belum orgasme mulai mendekati Nadya yang masih terlentang  kelelahan.

”Sayang, aku belum keluar nih, minta lagi donk.” pintaku memelas.

Nadya hanya  mengangguk lemah sambil membuka pahanya lebar-lebar. Aku yang sudah tak kuat  menahan nafsuku langsung menindihnya dan menggenjotnya dengan ganas. Tak sampai  10 menit, aku merasakan aku akan keluar.

”Nad, aku mau keluar.” Kataku. Saat aku akan mengeluarkan kontolku dari memek  Nadya, tiba-tiba kaki Nadya menahan bokongku sehingga aku keluar di dalam  memeknya.

”Nad, kok kamu tahan sih, ntar kalo kamu hamil gimana?” protesku pada Nadya.  Tapi dia hanya tersenyum sambil berbisik padaku.

”Kalo hamil ya biar kamu nikahin aku, sebab aku sudah jatuh cinta sama kamu,  mas.” bisiknya dekat telingaku.

Apa! Cinta? Si Nadya jatuh cinta kepadaku?! Tapi aku masih belum bisa memberi  jawaban karena aku masih bingung dengan perasaanku sendiri. Nadya hanya berkata  tak apa-apa karena dia hanya menganggap perempuan-perempuan dewasa yang  membutuhkan kontolku hanya butuh pelampiasan sex tanpa ada rasa cinta.  Sudah hampir 1 minggu sejak kejadian di kost Nadya dan selama itu pulalah aku  digilir 3 perempuan secara bergantian.  Suatu saat, pas aku sedang menunggu Nadya pulang sekolah, dari kejauhan aku  melihat sesosok orang tua yang aku kenal baik. Dia adalah mang Kosim. Ternyata  dia sudah pulang dari kampungnya. Saat kuteriaki, dia langsung mendekatiku. Tapi  kurang dari 3 meter, saat kami sudah akan berpelukan, dari sebelah kanan, aku  mendengar suara ban mengerem mendadak.

”CIIIIIIIITTTT… BRUAKKK!!!”  Aku yang terkejut tiba-tiba hilang kesadaran. Saat kesadaranku mulai kembali,  aku melihat mang Kosim terbaring di jalan terhimpit becaknya yang hancur  berantakan. Kucoba menggerakan kakiku, tapi terasa perih. Saat kulihat, ternyata  kakiku patah. Aku yang tak dapat menahan perihnya langsung kembali hilang  kesadaran.

”UUUHHH… ADUH…” aku mengeluh.

Saat sadar, aku sudah berada di rumah sakit.  Pelan-pelan kuingat lagi kejadian yang menimpaku dan mang Kosim. Kami berdua  menjadi korban kecelakaan. Kurasakan kaki kananku terasa nyut-nyutan.  Saat aku ingin memeriksa kakiku dengan tangan kananku.

”Lho, kok tanganku jadi berat, anget, trus ada empuk-empuknya lagi?” pikirku.

Saat kulihat, ternyata Nadya tengah memeluk erat tangan kananku. Terlihat juga  matanya sedikit sembab. Mungkin dia menungguiku sambil menangis. Ah, kenapa aku  jadi sedih memikirkannya padahal selama ini setiap aku sakit aku selalu mengurus  diriku sendiri sejak aku ditinggal orang tuaku selama-lamanya karena kecelakaan  saat aku baru lulus SMA. Saat aku lihat Nadya, kurasakan perhatian yang telah  lama tak kurasakan lagi. Perlahan-lahan kulihat Nadya mulai bangun. Saat dia  membuka mata, dia tampak terkejut melihatku sudah sadar.

”Mas.. Mas sudah sadar? Syukurlah, aku sangat khawatir.” katanya sambil langsung  memelukku dengan erat.

Kurasakan pundakku hangat oleh air matanya. Kupeluk dia dengan hati-hati karena  seluruh badanku masih sakit.

”Rian, lo udah sadar yah?” teriak seorang wanita seksi dari arah pintu sambil  berlari kecil menghampiriku.

Dia meletakkan keranjang buah di meja kecil yang berada di samping tempat tidur.  Dipeluknya diriku dengan erat sampai aku kesulitan benafas.




”Mbak… A-aku gak bisa nafas.” kataku.

”Ups, sorry, Rian. Habis aku seneng banget lihat kamu udah sadar.” kata wanita  itu sambil melepaskan pelukannya dariku.

Ya, wanita itu adalah mbak Sari.

”Mbak, gimana mang Kosim, mbak?” tanyaku pada mbak Sari.

Semua yang ada di ruangan itu diam seribu bahasa. Aku jadi khawatir dengan  sahabat baikku itu. Karena tak ada yang mau membuka mulut, maka dengan kesal aku  langsung membuka selimutku dan hendak turun dari tempat tidur.

”Mas, mas mau kemana? Jangan keluar dulu, kan baru sadar.” ujar Nadya sambil  menghalangiku bangun.

”Lepasin, Nad. Gue pengen ketemu mang Kosim.” jawabku dengan nada agak tinggi  sambil tetap mencoba berdiri.

”Ayo ikut gue. Gue bawa lo ke kamar mang Kosim.” kata mbak Sari dingin. Aku dan  Nadya hanya mengikuti langkahnya meninggalkan kamar tempat aku dirawat.

”Sebenarnya gue sama Nadya gak tega ngebiarin lo lihat pak Kosim, Rian.” kata  mbak Sari padaku yang masih mengikuti goyangan pantatnya yang bahenol.

”Memang kenapa, mbak?” tanyaku penasaran.

”Lo masih mending, Rian, cuma patah kaki sama memar-memar doank. Kalo mang  Kosim, dia kritis, sudah hampir 3 hari, Rian. Kemarin dia baru sadar.”

  Aku terkejut mendengar penjelasan mbak Sari. Saat kami mendekat ke ruangan ICU  tempat mang Kosim dirawat, disana aku melihat bu Selvi dan juga seorang  perempuan seumuran Nadya, orangnya cantik, kuning langsat, dadanya berukuran  sedang, dan kalo dilihat-lihat mirip dengan Alyssia Soebandono, artis remaja  terkenal itu. Saat aku dan yang lain masuk, kulihat mang Kosim sedang berbaring  lemah. Tapi begitu melihatku, ia memberi isyarat padaku agar mendekat.

”Rian, gue punya satu permintaan sama lo sebagai sahabat.” ujarnya lirih.

”Apa itu, mang? Asalkan gue sanggup melakukannya, gue bakal penuhin permintaan  mang Kosim.” jawabku sambil menahan air mataku yang mulai menggenangi karena tak  tahan melihat sahabat baikku terbaring lemah tak berdaya.

”Gue cuma mau lo jagain anak perempuan gue kalo terjadi apa-apa ama gue, Rian.”  pintanya lirih sambil menunjuk pada anak perempuan yang berada di samping bu  Selvi yang kemudian kuketahui namanya Titin.

”Pasti, mang, gue pasti bakal jagain anak lo. Dia bakal gue anggep adik gue  sendiri.” jawabku sambil mencucurkan air mata.

Kulihat si Titin sudah menangis  mendengar permintaan bapaknya itu.

”Ya udah, lo semua keluar dulu, gue mau ngomong berdua sama Titin.” kata mang  Kosim sambil memberi isyarat agar Titin mendekat.

”Ayo kita keluar dulu, mungkin ada hal penting yang mang Kosim mau katakan pada  anaknya.” kata bu Selvi sambil menggiring kami pergi dari ruangan itu.

”Mbak, gimana biaya rumah sakit gue sama mang Kosim?” tanyaku sambil menyusuri  lorong rumah sakit menuju kamarku.

”Udah, tenang aja, semua biaya lo udah gue sama mbak Selvi bayar.” kata mbak  Sari nenangin aku.

”Trus motor gue gimana? Yang nabrak siapa sih?” tanyaku nyerocos kayak kereta  api.

”Motor lo udah rusak parah. Lo ditabrak sama supir truck yang lagi teler  gara-gara narkoba.” kata bu Selvi sambil memapahku.

”Oh iya, mas, tadi ada ibu-ibu yang pesen kalo mas udah sadar disuruh ganti  biaya barang bawaan yang rusak, trus dia juga bilang kalo mas gak usah kerja  lagi.” kata Nadya.

”Aduh, mati gue! Pasti itu tadi mbak Ida. Mau bayar gimana, lha gue aja masih  kayak gini, mana gak boleh kerja lagi. Trus gue mau tidur dimana?” kataku sambil  memegangi kepalaku.  Perlu diketahui, sebelumnya gue tidur numpang di kantor tempatku kerja.

”Kalo lo mau, lo boleh tidur di kamar kost yang kosong.” kata bu Selvi  menawariku.

”Tapi, bu, aku sudah banyak berhutang sama bu Selvi dan mbak Sari. Aku gak tahu  gimana membalas kebaikan kalian?” kataku penuh haru.

”Dan lo bisa masuk ke kantor gue, Rian. Kebetulan OB lama gue mengundurkan  diri.” kata Mbak Sari.

”Makasih yah, mbak, bu.” kataku sambil menahan air mataku.

”Eits, tapi ada syaratnya, Rian.” kata Mbak Sari sambil melirik ke bu Selvi.

”Syaratnya, lo harus muasin kita kalo lagi pengen ngentot.” kata bu Selvi sambil  mencolek kontolku. Mendengar hal itu, aku jadi lega.




No comments:

Post a Comment