Welcome to My Blog

Tukang Kredit Nakal - Bagian Ketiga ( Zone Cewek )

Saturday, 12 March 2016

Cerita Dewasa




Baca bagian kedua

Zone Dewasa @

Dengan muka merah, dia langsung pergi dengan  tergesa-gesa meninggalkan aku yang sedang melongo tapi masih terus menggenjot  tubuh mbak Dewi yang sedang birahi tinggi.

”Rian, siapa tadi? Hhhhheeemmm…” kata mbak dewi sambil memutar-mutar pantat  bahenolnya.

”Anu, mbak, si nadya tadi mergoki kita.” kataku datar sambil meningkatkan  genjotanku di memeknya.

 ”Aaaaakkkhh… Eeeeekkkhhh… J-jangan cepat-cepat, Rian! A-aku dapet…  AAAAAKKKKKHHHH…” teriaknya.

Terasa kontolku disemprot cairan hangat di dalam memek mbak Dewi. Melihatnya  mendapat orgasme, aku semakin semangat menggenjotnya sehingga tanpa kusadari ada  sepasang mata yang tengah melihat kami yang sedang berpacu dalam birahi.

”Wah-wah, Rian, dapat rejeki kok gak bilang-bilang.” aku dikagetkan dengan suara  yang sudah kukenal ini dari belakangku.

Ya, dia adalah mang Kosim yang tanpa kusadari sudah berada di belakangku sambil  memeluk bu Selvi di sampingnya. Sungguh terlihat perbedaan yang mencolok, mang  Kosim yang hitam, kurus dan dekil, dengan bu Selvi yang putih, montok dan seksi.

”Ah, mang juga dapat mainan asik, lupa sama gue. Ngapain gue mesti inget sama  mang Kosim.” balasku sambil tetap menggenjot tubuh mbak dewi.

”Ya maaf atuh, lupa aku sama lo. Habis mainannya enak banget sih. Gimana kalo  tukaran, mau gak?” tanya mang Kosim sambil tangannya meremas susu bu Selvi.

Melihat susu bu Selvi yang montok, aku pun tergiur dengan penawaran mang Kosim.  Aku segera melepaskan kontolku dari memek mbak Dewi sambil melangkah mendekati  mang Kosim. Terlihat bu Selvi mengamati dengan seksama batang kontolku yang  mengkilat karena cairan orgasme mbak Dewi tadi. Dengan didorong mang Kosim, bu  Selvi pun mendekatiku sambil tetap melotot melihat kontolku.

”Rian, jangan disini donk, ntar kalo ketahuan orang gimana?’’ usul mang Kosim.  Aku jadi berpikir, dimana yah yang enak untuk pesta seks ini.

”Alah, ke rumah mbak Dewi aja, kan mumpung lagi sepi. Anaknya lagi ke rumah  kakeknya.” usulku sambil memegangi susu bu Selvi seolah-olah sedang mengukur  beratnya dan besarnya.

Dengan tergesa-gesa kami berempat memakai pakaian masing-masing dan pergi ke  rumah Mbak Dewi. Setelah sampai, aku langsung menggandeng bu Selvi ke dalam  kamar, sedangkan mang kosim sudah memeluk mbak Dewi sambil meremas bokong  semoknya di ruang tamu.  Di dalam kamar, tanpa menunggu lama, aku segera melucuti pakaian bu Selvi.

Dia  hanya pasrah sambil menatapku dengan sayu saat kuremas susunya yang selama ini  menjadi incaranku. Terasa sangat kencang, hangat dan kenyal (kayak pudding aja,  hehehe…) tanda kalau dia selalu menjaga tubuhnya dengan teratur. Mbak Selvi  hanya memejamkan mata tapi terasa nafasnya mulai memburu dan putingnya mulai  mengeras. Tiba-tiba aku merasa ada yang membelai kontolku, dan lama kelamaan  menjadi kocokan lembut. Wah, tidak kukira ternyata bu Selvi diam-diam nafsunya  gede juga, mungkin gara-gara kelamaan ditinggal sama suaminya kali.

”Bu, sudah lama yah main sama mang Kosim?” tanyaku sambil tetap memainkan puting  susunya.  ”Aaakkkhhh… B-baru 1 b-bulan kok, J-Rian…” jawabnya terbata-bata karena aku  mulai menyusu pada payudaranya yang montok kayak punya MAGDALENA, sambil  kumainkan putingnya dengan lidahku.

Tiba-tiba aku dikejutkan saat dengan penuh nafsu bu Selvi mendorong tubuhku ke  atas ranjang dan langsung melucuti pakaianku.

”Bu, sabar, Bu. Biar saya buka sendiri.” kataku sambil memegang tangan bu Selvi  yang mulai menarik turun celana dalamku, Dalam hatiku,

”Wah, ini sih bukan gue yang merkosa, tapi gue yang merasa diperkosa. Tapi gue  juga kepengen sih, hehehe..”

”Udah, diam saja kau. Aku sama mang Kosim udah tahu kalian ngintip gara-gara  suara desahan mbak Dewi yang lumayan kencang, tapi aku diamkan saja, pengen tahu  reaksi kamu. Eh, tak tahunya kamu malah main juga sama mbak Dewi, mana  kelihatannya si Dewi nikmat banget. Aku kan juga pengen ngrasain kontol kamu,  Rian.” jelasnya panjang lebar sambil tangannya mengocok kontolku dengan lembut.

Lama-lama kocokan lembutnya menjadi kocokan yang cepat tapi tetap enak  dikarenakan kulit tangannya yang lembut dan halus, lalu… HUUUUPP! dimasukannya  kontolku ke dalam mulutnya dan mulai terasa sensasi hangat menjalar di batang  kontolku saat dia mengemutnya.

Wah, terasa sekali pengalaman bu Selvi dari  tehniknya mengoral penisku sampai caranya memainkan lidahnya. Aku yang memang  dari tadi sudah menahan birahi, tak sanggup lagi menahan luapan sperma yang  sudah mau keluar, tapi lagi-lagi aku dikagetkan dengan ulah bu Selvi yang  mencengkeram batang kontolku dengan kuat sehingga sperma yang mau keluar malah  masuk lagi tak jadi keluar.

”Jangan di luar dong keluarnya, aku pengen ngerasain spermamu di dalam memekku.”  katanya sambil memasukan kontolku ke dalam memeknya.

Terasa sekali peretnya  sampai aku merem melek keenakan. Setelah masuk semua, bu Selvi diam saja.

Aku yang bingung pun mulai menggerakkan pinggulku, tapi ditahan oleh bu Selvi  sambil berkata, ”Rian, diam dulu dech. Rasakan saja, jangan banyak bergerak.”  tiba-tiba aku merasakan batang kontolku dipijit-pijit dari dalam memeknya.

Oh,  sungguh enaknya. Baru kali ini aku merasakan sensasi ini.

”Gimana, Rian, enak gak?” tanya bu Selvi.  Aku hanya bisa mengacungkan jempolku karena aku tak bisa mengungkapkannya dengan  kata-kata. Setelah melihat isyaratku, bu Selvi hanya tersenyum sambil mulai  menggoyangkan pantat semoknya.

”Aaaaakkkhh… Eeeekkkhhh… Uuuuuhhhhmm…” hanya desahan saja yang terdengar di  dalam kamar itu, desahan dua insan yang sedang berpacu bersama menikmati surga  dunia.
Lima belas menit berlalu, lama-lama goyangan bu Selvi mulai semakin cepat dan  juga suara desahannya yang mulai agak keras pertanda dia mendekati puncak  kepuasan. Timbul ide isengku untuk membalasnya atas perlakuannya tadi. Dengan  tanpa disadarinya, aku mengangkat pinggulku setinggi-tingginya. Alhasil serangan  dadakanku membawanya ke puncak kenikmatan dunia.

”AAAAAKKKKHHH…” terdengar desahan nikmat yang keluar dari bibir tipisnya  disertai dengan ambruknya tubuh bu Selvi diatas tubuhku.  Terasa sekali betapa padat susunya saat bersentuhan dengan dadaku yang berbulu.




”Rian, kamu nakal juga yah ternyata.” godanya di sela-sela desahan nafasnya.

”Nakal tapi suka kan?” balasku sambil menggoyang pinggulku dengan lembut yang  dibalasnya dengan senyuman genit.

Tanpa membuang waktu, aku mambalik tubuh bu Selvi sehingga kini aku yang berada  diatas dan mulai menggoyangkan pinggulku dengan cepat karena aku sudah tidak  bisa menahan gejolak nafsu yang dari tadi berkobar di batang kontolku, hahahaha…  Bu Selvi hanya pasrah ketika kugenjot dengan kasar dan cepat. Hanya terdengar  desahan lemah yang keluar dari mulutnya. Tak sampai sepuluh menit, aku sudah  merasakan spermaku sudah di ujung. Tanpa dapat dibendung lagi, tumpahlah semua  spermaku di memek bu Selvi. Terlihat dia juga merasakan kepuasan.  Setelah istirahat, aku dan bu Selvi mengobrol.

”Bu, kok bisa main sama mang  Kosim, gimana sih ceritanya?” tanyaku membuka obrolan.

”Awalnya gara-gara iseng, Rian. Aku menggoda mang Kosim, eh gak tahunya dia  nekat memperkosaku, terus jadi ketagihan deh aku.” jawabnya sambil memelukku dan  memainkan kontolku yang sedang beristirahat setelah pertempuran sengit tadi.

Aku manggut-manggut, lalu…

”Bu, anak-anak kost di rumah ibu cantik-cantik ya,  apalagi si Nadya. Apa dia gak ada yang ngapelin, bu?” tanyaku penuh selidik.

”Gak ada, Rian. Si Nadya orangnya pendiam, tapi diam-diam tuh anak nafsunya gede  lho.” jawabnya.

”Kok ibu bisa tahu?” tanyaku semakin penasaran.

”Ibu pernah mergokin dia masturbasi di kamar, Rian.” jawabnya sambil mulai  memakai bajunya yang berserakan di lantai.

 ”Wah, bisa dimanfaatin nih info.” kataku dalam hati sambil keluar kamar.

 Saat keluar, kulihat mbak Dewi sedang digenjot sama mang Kosim di sofa. Nah,  sejak saat itulah aku dan mang Kosim seperti dua orang sahabat karib yang selalu  berbagi, yang dalam hal ini berbagi perempuan, hahaha…


Di suatu siang, saat sang mentari bersinar dengan terang, tanpa terhalang sang  awan, terlihat dari kejauhan seorang pengendara motor yang tengah melaju  melewati padatnya lalu lintas di sebuah kota kecil di Jawa Timur. Dengan  lincahnya dia melewati setiap rintangan yang menghalanginya, melaksanakan  pekerjaannya. Orang itu tak lain dan tak bukan adalah aku, Rian sang tukang  kredit kesayangan para ibu-ibu, hahaha…  Saat sedang melaju dengan santai ditemani motor Revo kesayangan, aku melewati  salah satu sekolah menengah atas favorit di kotaku tercinta ini. Melihat para  murid yang pada pulang sekolah mengingatkanku pada masa sekolahku. Yah, walau  aku termasuk siswa yang tidak populer dengan para cewek, tapi semua itu berubah  sejak aku bertemu dengan mbak Dewi dan bu Selvi, dimana setiap saat aku bisa  merasakan hangatnya tubuh seorang perempuan.

Saat sedang bernostalgia ria, aku melihat sesosok wajah yang cukup kukenal  sedang menatapku dan tersenyum dengan gigi yang tak lengkap lagi, ditambah tubuh  cekingnya itu, dia melambaikan tangan padaku. Orang itu tak lain dan tak bukan  adalah mang Kosim, sang sahabat dalam urusan ranjang, hehehe…

”Rian, gimana, sudah dapat mangsa baru apa belum lo?” tanyanya dengan penuh  harap.

”Emang sudah bosen sama bu Selvi dan mbak Dewi, Mang?” tanyaku balik.

”Bukan bosen, Rian. Lo sendiri kan sudah tahu suaminya si Dewi sudah balik dari  tugasnya, jadi cuma bisa uhuk-uhuk sama bu Selvi doang.”

”Wah, belum dapat, Mang, gue. Kan langganan becaknya mang Kosim banyak, masa gak  ada yang bisa dikelonin sih?”

”Banyak sih, Rian. Tapi kan gue juga pilih-pilih calon mangsa juga. Masa ibu-ibu  jelek gue embat juga, bikin merana kontol gue aja.”

”Kan gak semua langganan mang Kosim ibu-ibu semua, sekali-kali daun muda juga  gak apa-apa,” kataku sambil mataku jelalatan melihat cewek-cewek SMU yang baru  pulang sekolah.

”Ya deh, Rian, gue usahain. Tapi lo juga usaha donk. Eh, Rian, udah dulu yah,  tuh langganan gue udah keluar. Gue kerja dulu.” balas mang Kosim sambil  meninggalkanku, menghampiri seorang murid SMU.

Dari kejauhan aku melihat seorang gadis yang kukenal, dia adalah NADYA, cewek  yang memergokiku saat sedang menggarap mbak Dewi di kebun pisang. Sebenarnya  anaknya cantik, tingginya sekitar 164cm. Dadanya gede booo, ukuran 36B. Kulitnya  kuning langsat, tambah cakep kalo lagi make kacamata, dengan hidung mancung  kayak Asmirandah.

Saat aku hendak menghampirinya sekedar untuk menawarkan  tumpangan pulang, aku melihat sesosok cowok yang juga aku kenal mendekati Nadya.  Dia adalah Tono. Sekedar info, Tono ini adalah adiknya Ryan, musuh bebuyutan gue  di masa sekolah. Denger-denger sih si Tono tukang maen cewek dan punya bekingan  preman. Sebenarnya anaknya tampan, kaya, tinggi lagi, tapi semua itu tertutup  sama kelakuan bejatnya yang suka mainin cewek, make narkoba, sama suka malakin  adik kelasnya.  Mengingat latar belakang si Tono yang kelam, gue cuma memperhatikan dari jauh  mau diapakan si Nadya. Keduanya sepertinya terlibat dalam percakapan yang  serius. Tak berapa lama, terlihat Nadya menampar Tono dan pergi sambil cemberut.  Entah apa isi pembicaraan mereka. Tono mengikuti Nadya secara diam-diam. Melihat  itu, aku pun mengikutinya berjalan kaki, tak lupa kutitipkan motor kesayanganku  ke salah satu penjaga warung dekat situ.




Ternyata benar dugaanku, saat melintas  di daerah yang cukup sepi, kulihat mereka berdua sudah menghilang dari  pandangan. Saat kucari-cari, aku mendengar suara teriakan yang tertahan diantara  rimbunnya tanaman tebu. Setelah kutelusuri lebih dalam, kulihat Tono sedang  mencoba memerkosa Nadya. Kulihat seragam atas Nadya sudah sobek dan roknya  melorot sampai mata kaki. Tubuh sintalnya tengah dipeluk Tono sambil mencoba  menciumnya.

Melihat hal itu, timbul sifat pahlawanku.  Tanpa pikir panjang, aku mengambil sepotong kayu dan kuayunkan ke kepala Tono.  Tapi tanpa diduga, ternyata yang kuambil tadi adalah batang tebu, sehingga  bukannya pingsan, Tono malah sadar akan kehadiranku.

”Eh, kunyuk, ngapain lo ganggu usaha orang? Pengen mati lo.” ujarnya sambil  memegang kepalanya yang pening.

”Lo tuh yang kunyuk! Usaha yang bagus donk, usaha kok merkosa?!” balasku.

”Oh, nantangin lo. Gue matiin lo!” katanya sambil mengambil pisau lipat yang ada  di kantongnya.

”Ayo, siapa takut?” kataku tak kalah sengit.

Pertarunganku dan Tono pun tak bisa dihindarkan. Untung saja saat aku masih  sekolah, aku ikut ekstra karate. Yah, walau cuma ikut 1 semester doank. Setelah  hampir 10 menit perkelahian yang tak seimbang itu, akhirnya aku bisa menangkap  pergelangan tangan Tono yang memegang pisau dan memelintirnya sehingga pisaunya  terjatuh. Tak sampai di situ, kupegang kepalanya dan kuadu dengan lututku.  Hasilnya darah segar mengucur dari hidungnya dan tubuhnya langsung jatuh di atas  tanah. Saat akan kuhabisi dengan serangan lanjutan, aku dikagetkan dengan  sensasi pening yang melanda kepalaku, dan tak lama kemudian semuanya berubah  hitam. Aku pingsan tak sadarkan diri.

No comments:

Post a Comment